10/05/2017

Eksistensi Perpustakaan di Era Reformasi: Pendapat Kritis Taufik Asmiyanto

Eksistensi Perpustakaan
di Era Reformasi: Pendapat Kritis
Taufik Asmiyanto


Tema yang diusung dalam Rapat Kerja Pusat (Rakerpus) XIII dan Seminar Ilmiah Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) yang berlangsung di Pekanbaru, Riau, 31 Mei – 3 Juni 2005 yakni “Pustakawan Sebagai Pemberdaya Pengetahuan: Menuju Bangsa yang Belajar”, terlihat sangat “bombastis”. Tema yang kemudian diturunkan dalam beberapa topik ini tampaknya tidak memperlihatkan benang merah pemikiran yang mengacu pada fokus perhatian dalam Rakerpus kali ini. Penulis menilai tema yang diusung tampaknya masih sekedar wacana yang “liar”, bila secara jujur kita melihat kondisi perpustakaan maupun pustakawannya sendiri, terlebih mengamati peran yang telah dilakukan perpustakaan sejauh ini. Wacana ini kiranya perlu diturunkan dalam berbagai langkah strategis dan konkrit yang seharusnya terlihat pada turunan topik seminar. Karena sering kali kita sangat senang menelurkan suatu isu, dengan mengadopsi isu-isu dari luar yang sudah barang tentu sangat berbeda kondisinya dan agak sulit diterapkan dalam jangka pendek.

Berangkat dari kegundahan di atas, penulis memandang perlu menyampaikan pendapat sejujur-jujurnya atas pengamatan kasat mata tanpa didukung bukti-bukti ilmiah, atas fenomena yang penulis temui khususnya yang menyangkut keberadaan perpustakaan di era reformasi. Pemikiran yang berbeda ini diharapkan tidak dicap sebagai upaya pembunuhan karakter (character assination) institusi atau perorangan, namun dilihat sebagai bentuk kebebasan mengutarakan pendapat dan kepedulian masyarakat terhadap
* Makalah pada Rakerpus dan Seminar Ilmiah IPI XIII, Pekanbaru, Riau, 31 Mei – 3 Juni 2005.
** Pengajar Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
keberadaan perpustakaan. Pendapat-pendapat senada diharapkan juga bermunculan, sehingga pada saat Rakerpus IPI dibahas masalah-masalah yang lebih “membumi” dan memberikan solusi atas pekerjaan rumah yang belum terselesaikan tanpa melupakan pemikiran strategis ke depan yang perlu dilakukan.

Pendahuluan
Selama kepemimpinan rezim Orde Baru, keberadaan perpustakaan dijadikan sebagai aparatus ideologi negara, yang berdampingan dengan aparatus represif negara yang sengaja diciptakan dengan tujuan mengekalkan pemerintahan yang otoriter dan terpusat. Perpustakaan menjadi “tangan pencekram” kebebasan memperoleh informasi. Perpustakaan dijadikan alat rezim yang ditugaskan “mengkebiri” pengetahuan masyarakat melalui penyensoran buku-buku yang dianggap berbahaya bagi stabilitas pemerintahannya.

Sebagai aparatus ideologi negara, perpustakaan bersama-sama dengan institusi penyampai informasi lainnya, selain melakukan pembendungan arus informasi “liar” yang dapat menimbulkan instabilitas, juga memainkan peran yang signifikan dalam menyebarkan ideologi penguasa.

Perpustakaan juga berkembang menjadi institusi pemerintah dengan kultur birokratis khas Orde Baru yang seringkali tidak bersikap melayani masyarakat, tetapi minta dilayani. Sehingga perpustakaan mengambil peran yang pasif dalam melayani kebutuhan informasi masyarakatnya. Perpustakaan disibukkan dengan urusan internal, dan tak memperdulikan hubungan eksternal. Perpustakaan sibuk menimbun koleksi sebanyak-banyaknya, lupa akan masyarakat pemakainya.

Memasuki era reformasi, diskursus perpustakaan di Indonesia seakan tenggelam oleh gegap-gempitanya pemberitaan di media, baik cetak maupun elektronik, seputar isu politik, sosial, ekonomi, hukum, dsb. Seluruh perhatian publik tertuju pada upaya perbaikan tatanan kehidupan bangsa yang porak-poranda tertimpa “badai” krisis. “Genderang perang” yang ditabuh berbagai kalangan menyangkut kebebasan memperoleh informasi, tak juga menyadarkan perpustakaan untuk berdiri di garis depan mendukung upaya itu. Perpustakaan tidak mampu mengambil momen tersebut sebagai upaya revitalisasi peran.

Kondisi perpustakaan di Indonesia pasca rezim Orde Baru ternyata belum juga memperlihatkan ke arah yang lebih baik. Walaupun, perpustakaan tidak lagi dijadikan ideological state apparatus pemerintahan yang berkuasa. Namun, perpustakaan tetap tidak mampu menempatkan diri sebagai public sphere. Perpustakaan tidak mampu memenuhi kebutuhan publik dan menjamin akses publik untuk berperanserta dalam diskursus yang menyangkut kepentingan bersama. Perpustakaan juga tidak mampu berperan aktif dalam turut mendukung terciptanya demokratisasi dan terbentuknya masyarakat madani.

Ketidakmampuan perpustakaan dalam memainkan perannya ini meninggalkan sejumlah pertanyaan yang seharusnya dicarikan jawaban yang memuaskan. Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut di atas yang menurut penilaian subyektifitas penulis yang akan mampu mendorong perpustakaan menemukan jati dirinya.

Masalah Minat Baca
Persoalan minat baca masyarakat yang rendah sudah sejak lama menjadi pusat perhatian berbagai kalangan. Beragam perhatian dengan beraneka ragam upaya pencarian solusi masalah itu telah ditempuh. Namun, langkah penyelesaian masalah seakan tak berujung. Tampaknya, tidak jalannya koordinasi berbagai pihak yang terkait dengan upaya pencarian solusi menjadi penyebab tidak berhasilnya usaha tersebut. Belum lagi kebiasaan yang berlaku di lingkungan sosial kita dengan politik kambing hitam membuat sempurna ketidakberhasilan itu. Kalau kita mengamati berbagai tulisan yang mengupas tentang mengapa minat baca bangsa ini rendah, sering kali kita menemukan pengalihan masalah dengan jalan menuding si A atau si B sebagai kambing hitamnya. Selama ini ketika kita dilontarkan pertanyaan itu, tanpa pikir panjang dan seolah itu merupakan kebenaran absolut, kita lalu mendakwa biang keroknya adalah harga buku yang membingungkan (baca: mahal), televisi yang melalaikan, budaya lisan yang menjerumuskan, orang tua yang tak memperhatikan, lingkungan yang mengabaikan, sekolah yang tak membiasakan, perpustakaan yang tak berperan dan seabrek jawaban lain yang berusaha dicarikan dalil pembenarannya.

Kemudian, terbetik pertanyaan yang menggelikan, kenapa justru perpustakaan yang dijadikan pesakitan dalam kasus minat baca? Bukankah perpustakaan justru memiliki peran signifikan dalam mencerahkan bangsa? Bila jawaban atas pertanyaan itu kita mintakan kepada para pengelola perpustakaan, biasanya yang kita dapatkan hanyalah jawaban-jawaban klise atau bahkan pembelaan mati-matian bukan upaya perenungan panjang yang dilakukan dan langkah strategis yang dijalankan.

Perpustakaan yang seharusnya menjadi ujung tombak dan sekaligus berperan lebih besar dalam upaya membangkitkan minat baca anak negeri, dengan membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat akan bahan bacaan, ditengah kegundahan masyarakat atas tingginya nilai ekonomi buku dan keterpurukan daya beli, justru hanya mampu menjadi penonton, bukan sebagai pemain atau si pemecah masalah.

Perpustakaan sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang memikul amanah besar dalam memberantas kebodohan, melakukan pencerahan, sekaligus sebagai agen perubahan, seperti tak kuasa menunaikan amanah, dan hanya mampu bertindak sebagai “museum” buku. Perpustakaan lebih banyak berkutat pada pembenahan fisik ke dalam, menjaga koleksi agar tetap utuh, dan seakan melupakan apa yang sedang terjadi di luar.

Pendapat sebagian masyarakat yang melihat efektifitas upaya membangkitkan minat baca seharusnya di mulai sejak dini artinya saat masih usia anak-anak. Sementara itu, menurut para pakar pendidikan, cara yang paling ampuh untuk menumbuhkan minat baca pada anak-anak adalah dengan merangsang rasa keingintahuan anak. Pendapat ini ternyata bukan isapan jempol belaka, belum lama kita melihat fenomena larisnya buku JK Rowling di pasaran. Rasa ingin tahu yang tinggi membakar motivasi masyarakat untuk segera mencari alat pemuas keingintahuan itu. Jadi, dapat dikatakan bahwa kebiasaan membaca berkorelasi positif dengan keingintahuan.

Melihat hal ini perpustakaan seharusnya berbenah diri, merenungkan kembali tugas dan perannya, dan kemudian menterjemahkannya ke dalam upaya membangkitkan kesadaran masyarakat akan manfaat perpustakaan dalam kehidupan sosial dan menumbuhkan semangat keingintahuan. Banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan perpustakaan dalam kerangka itu. Perpustakaan harus mampu membaca dan memanfaatkan setiap momentum yang ada. Momentum yang mampu menyulap citra negatif perpustakaan menjadi positif.

Akses Ruang Publik
Pada era Orde Baru, perpustakaan dijadikan ideological state apparatus. Perpustakaan, saat itu, menjadi salah satu corong pemerintahan yang berkuasa untuk menebarkan pesan-pesan politik yang menjadi ideologi penguasa. Perpustakaan juga dijadikan instrumen penguasa yang ditugaskan menangkal pemikiran-pemikiran yang kontra terhadap pemerintahan yang berkuasa. Pada saat itu, perpustakaan tidak bisa diharapkan sebagai institusi yang membuka peluang terciptanya ruang publik (public sphere). Sebuah ruang yang “netral” di mana publik memiliki akses yang sama dan berpartisipasi dalam wacana publik dalam kedudukan yang sejajar, bebas dari dominasi negara ataupun pasar. Kepemimpinan otoriter yang diterapkan Orde Baru, yang mengarah kepada upaya pewadahtunggalan dan homogenisasi, membuat berbagai ruang publik dalam posisi subordinat di hadapan penguasa negara. Perpustakaan sebagai salah satu pilar penegakan kawasan publik juga mengalami hal yang serupa.

Memasuki era pasca Orde Baru, berbagai pilar public sphere yang dulu tersubordinasi oleh penguasa, mulai menampakkan jati dirinya. Pers, misalnya, sudah lebih berani bersikap kritis terhadap penguasa dan berani menyuarakan aspirasi masyarakat yang marjinal. Namun, apa yang kita temui pada institusi perpustakaan ternyata tidak sama. Kondisi perpustakaan di Indonesia pasca rezim Orde Baru ternyata belum juga memperlihatkan ke arah yang lebih baik. Walaupun, perpustakaan tidak lagi dijadikan ideological state apparatus pemerintahan yang berkuasa. Namun, perpustakaan tetap tidak mampu menempatkan diri sebagai public sphere. Perpustakaan tidak mampu memenuhi kebutuhan publik dan menjamin akses publik untuk berperanserta dalam diskursus yang menyangkut kepentingan bersama. Perpustakaan juga tidak mampu berperan aktif dalam turut mendukung terciptanya demokratisasi dan terbentuknya masyarakat madani.
Melihat konsep ruang publik di atas, perpustakaan seharusnya berperan sebagai institusi sosial yang bertanggung jawab terhadap penyediaan akses informasi atas dasar kesamaan dan kesejajaran. Perpustakaan seharusnya tidak bertindak diskriminatif dan mengabaikan masyarakat marjinal yang tidak memiliki kemampuan terhadap akses tersebut. Masyarakat marjinal yang sebagian besar merupakan masyarakat dengan status sosial-ekonomi bawah dan tingkat pendidikan rendah sering tidak menjadi perhatian ketika perpustakaan menyusun kebijakan.

Selama kepemimpinan rezim Orde Baru, masyarakat marjinal sering tidak mendapat tempat hampir di seluruh sektor. Demikian juga halnya dengan perpustakaan. Stigma yang tertanam pada institusi perpustakaan saat itu, seakan membenarkan keberpihakan tersebut. Kesan perpustakaan sebagai penyedia buku-buku serius, tempat orang-orang terdidik berkumpul, ruang menimba pengetahuan, dan serentetan kesan yang berat lainnya memperlihatkan bahwa perpustakaan diperuntukkan pada golongan orang tertentu. Stigma yang terpatri puluhan tahun itu, di satu sisi sejalan dengan kesakralan peran perpustakaan sebagai lembaga “pencerahan”. Namun, di sisi lain, cenderung membuat perpustakaan kehilangan antusias pasarnya.

Citra perpustakaan yang demikian, seakan diwariskan secara turun temurun dan diperkuat labelnya oleh para pengelola perpustakaan itu sendiri. Larangan berbincang, bersenda-gurau, bersantai, dan aktifitas ringan lainnya kerap kita temui di lorong-lorong perpustakaan. Tempelan larangan-larangan itu bahkan menjadi bagian hiasan ruang perpustakaan. Hampir di setiap perpustakaan, kita jumpai tempelan serupa.
Padahal seingat penulis, perpustakaan juga mengemban tugas untuk menjadikan ruangannya sebagai ajang bermain, tempat bercerita (story telling), wahana kumpul keluarga dan serangkaian tugas lain yang menjungkirbalikkan sakralitas perpustakaan itu. Tentu saja, tidak semua perpustakaan dapat memainkan peran yang demikian itu melihat tugas dan fungsinya.

Gerakan Masyarakat
Kinerja perpustakaan yang belum optimal, membuat gundah masyarakat, namun sekaligus menimbulkan kesadaran masyarakat untuk mulai berpikir dan berbuat agar masalah tak berkepanjangan dan mengorbankan mereka sendiri. Saat ini, kita sudah dapat melihat beberapa aktivitas perbukuan independen yang dilakukan atas dasar kepedulian masyarakat. Salah satunya yang menonjol adalah Komunitas Pasar Buku Indonesia (KPBI). Lewat Program Kampanye Indonesia Membaca, KPBI melakukan serangkaian terobosan yang kreatif yang sebelumnya tidak pernah dicanangkan perpustakaan dengan cara membangun perpustakaan komunitas, menelorkan klub baca tulis SMA, dan membuka toko buku independen. Belum lama berselang kita juga mendengar, kepedulian masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Relawan 1001 Buku yang melakukan kegiatan mengumpulkan buku-buku bekas untuk didistribusikan ke perpustakaan-perpustakaan anak. Belum lagi, kepedulian yang ditunjukkan beberapa perusahaan raksasa di Indonesia yang mensponsori program-program pengembangan taman bacaan, pembangunan perpustakaan 7
komunitas, bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Baru-baru ini, perusahaan rokok domestik yang sebagian besar sahamnya diakuisisi perusahan rokok luar, Sampoerna, melalui Program Bimbingan Anak (PBA) Sampoerna, mengadakan asistensi perpustakaan sekolah bekerjasama dengan Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, FIB-UI.

Lemahnya Kerjasama & Kreatifitas
Salah satu kelemahan nyata yang tanpa didisadari mengakar pada perpustakaan adalah ketidakpeduliannya dengan dunia luar. Barangkali, hal ini merupakan warisan kultur birokratis khas Orde Baru yang seringkali tidak bersikap melayani masyarakat, tetapi minta dilayani. Perpustakaan disibukkan dengan urusan internal, dan tak memperdulikan hubungan eksternal. Perpustakaan sering tidak mampu membina hubungan sosial. Ada semacam bottleneck komunikasi yang terjalin antara perpustakaan dan masyarakat. Perpustakaan lebih sering berbicara ke dalam dan mengabaikan jalinan komunikasi dengan pihak luar.
Hal ini yang tampaknya menjadi penyebab utama seringnya kegagalan pelaksanaan program perpustakaan. Program tidak didukung bahkan tidak dipedulikan masyarakat. Perpustakaan belum mampu membangun kepercayaan (trust) masyarakat akan tugas dan perannya.

Belum tingginya kesadaran perpustakaan membina hubungan dengan segenap elemen masyarakat, barangkali yang juga menjadi penyebab buruknya citra perpustakaan. Hubungan yang dibangun tentu saja harus berdasar pada asas win-win solution. Dalam menjalin hubungan, perpustakaan tidak hanya ditempatkan sebagai obyek pembangunan citra pihak lain. Perpustakaan harus juga mempunyai harga tawar dalam jalinan kerjasama itu.

Belum munculnya kesadaran akan pentingnya fungsi public relations (humas) dalam menjembatani hubungan perpustakaan dengan masyarakat dalam upaya pembangunan citra dan penjalinan kerjasama, tampaknya merupakan akar permasalahan ketidakpedulian ini. Humas yang nantinya diharapkan akan mampu membongkar sumbatan komunikasi yang terjadi dan mampu menciptakaan dan memelihara citra positif perpustakaan dihadapan masyarakat. Sehingga perpustakaan secara perlahan akan mampu menjalin kerjasama dengan masyarakat dan didorong untuk bahu membahu ikut terlibat menyukseskan program perpustakaan. Hal ini sudah barang tentu membutuhkan keterbukaan dan kearifan perpustakaan bahwa mereka bukanlah satu-satunya pihak yang paling memahami urusan kepustakawanan. Sinergi ini mudah-mudahkan akan membangun citra positif perpustakaan dan sekaligus membangun hubungan yang saling menguntungkan.

Berbicara soal sumber daya manusia, ada cap negatif yang selama ini menempel pada diri perpustakaan dan sangat merugikan. Banyak orang tahu dan seakan sudah menjadi rahasia umum, bahwa perpustakaan sebagai tempat pengasingan orang-orang “bermasalah”. Stempel ini jika disikapi secara positif menjadi semacam api pengobar ghirah untuk membuktikan ketidakbenaran asumsi itu. Namun, sebaliknya bila ditanggapi secara negatif malah justru memperkuat stigma yang menempel. Belum lagi, stigma negatif yang selama ini dilekatkan masyarakat pada insan pengelola perpustakaan makin memperkuat sangkaan tersebut di atas. Sering kita mendengar keluhan masyarakat pengguna perpustakaan atas ketidakramahan, ketidakpedulian, keangkuhan pustakawan akan layanan yang dilakukan. Pustakawan dalam rutinitas kesehariaannya seakan lupa bahwa mereka adalah pelayan jasa. Sebagaimana bisnis jasa yang lain, anggapan bahwa pelanggan bak seorang raja, seharusnya juga berlaku. Walaupun bisnis yang dilakukan perpustakaan tidak secara langsung menampakkan imbalan materi (non-profit).

Kegundahan masyarakat akan kerja yang dilakukan pustakawan berakumulasi menjadi kenyataan pahit yang didera perpustakaan. Sehingga ada semacam anggapan bahwa ketika masyarakat mendengar kata perpustakaan langsung apriori. Namun, bila sudah diterjemahkan ke dalam istilah lain, pusat informasi, taman bacaan, kafe buku, dan sebagainya, antusiasme masyarakat berbeda seratus delapan puluh derajat.

Satu kelemahan yang tampak pada diri pustakawan adalah kurangnya budaya kreativitas, inovasi, dan penghargaan terhadap karsa. Perpustakaan merasa segala sesuatu selesai ketika semua pekerjaan rutin (library routines) telah dilakukan. Jarang kita temui terobosan-terobosan program perpustakaan seperti yang telah dilakukan oleh KPBI.

Penutup
Sekali lagi, tulisan ini merupakan pendapat subyektif penulis melalui pengamatan kasat mata tanpa diperkuat bukti-bukti ilmiah. Jadi, isi dalam tulisan ini boleh dipertentangkan. Masalah-masalah yang dipaparkan dalam tulisan ini juga belum mewakili sekian banyak masalah menyangkut eksistensi perpustakaan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Jadi yang perlu dilakukan adalah upaya penguakan substansi persoalan-persoalan perpustakaan terkini melalui kegiatan penelitian, misalnya dan kemudian merancang langkah-langkah strategis, cerdas, dan inovatif dalam menuntaskan secara bertahap persoalan-persoalan seputar perpustakaan. Perlu dipahami bersama bahwa perpustakaan bukan institusi yang berada pada ruang hampa. Perpustakaan merupakan lembaga sosial yang bersinggungan dengan berbagai persoalan baik mikro maupun makro berkaitan dengan sosial, politik, budaya, ekonomi, dsb. yang secara langsung ataupun tidak berpengaruh pada eksistensi perpustakaan. Akhir kata, selamat menyuarakan aspirasi masyarakat dalam rapat kerja dan membahas persoalan bangsa dalam seminar.


REFERENSI
Asmiyanto, Taufik. “Deregulasi Industri Penyiaran dan Penguatan Civil-Society: Pemikiran Teoritis Ekonomi-Politik Media terhadap UU Penyiaran”. Makalah yang ditulis sebagai tugas akhir mata kuliah Ekonomi Politik Media, Salemba, 5 Juni 2003.
Hidayat, Dedy N. Dalam buku Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS, 2001.
“Konstruksi Sosial Industri Penyiaran: Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di Sektor Penyiaran.” Makalah yang disampaikan pada acara diskusi UU Penyiaran, Salemba, 5 Maret 2003.
“Minat Baca vs Bahan Bacaan”. Kompas, Senin, 4 Nopember 2002.
“Perpustakaan, Buku, dan Minat Baca”. Republika, Jum’at, 24 Januari 2003.
“Public Relations”. Diambil dari http://cdc.eng.ui.ac.id/article/articleprint/2254/-1/4/ pada tanggal 18 Februari 2005.
Yurnalis, Widia. “Buku Harry Potter dan Realitas Minat Baca”. Pikiran Rakyat, Sabtu, 12 Juni 2004.

1 komentar: