10/29/2017

Pemuda Pancasila RUU Ormas

Wawancara langsung di kediaman bang Budi Andika (Sekertaris umum SAPMA Pemuda Pancasila Kota Depok)
RUU Ormas, seperti yang dipahami adalah Undang-undang yang berisi tentang mengatur organisasi masyarakat. Dimana hal yang digaris bawahi adalah terkait pembubaran suatu ormas yang dianggap sudah radikal dan bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Sekaligus tanpa melalui jalur pengadilan.

Pro dan kontra pun menghiasi penerbitan Undang – undang No 2 Tahun 2017 tentang perpu ormas yang menjadi undang – undang melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Pro dan kontra pun tidak hanya terjadi di masing – masing fraksi, namun juga terjadi di masyarakat. Dimana terlihat jelas bagaimana terjadi dualisme di masyarakat dalam menyikapi RUU Ormas.

Sebagian masyarakat yang pro menilai, bahwa RUU Ormas adalah langkah kongkrit dalam melawan serta menindak tegas ormas – ormas yang bersifat dan berperilaku radikal, serta bententangan langsung dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila. Namun sebagian masyarakat yang kontra pun menilai, bahwa RUU Ormas adalah langkah awal pemerintahan untuk bertindak sewewang – wenang serta represif. Lalu bagaimana reaksi dari para ormas sendiri?

Salah satunya adalah Pemuda Pancasila selaku ormas besar yang mempunyai sejarah dan jam terbang tinggi di Indonesia. Abdulah Maulana Maki selaku (Wakil sekretaris lembaga pendidikan MPC Pemuda Pancasila Kota Depok) pun ikut menuangkan pendapatnya tentang RUU Ormas tersebut.

” Sangat perlu sekali adanya RUU Ormas. Karena tidak sedikit ormas yg mengatas namakan agama, tidak sesuai dengan prinsip dasar dan ideologi bangsa kita yang berazaskan pancasila. Berarti semua agama jadi satu, yang harus dipertahankan adalah ormas yg berideologikan pancasila,” kata Abdulah Maulana Maki.
RUU Ormas juga dianggap langkah yang tepat guna menjelaskan bahwa ideologi ormas adalah satu yaitu Pancasila. Tidak ada yang lain dan bukan yang lain selain satu Pancasila.

” Menurut saya secara pribadi sudah jelas disebutkan tentang ormas, jelas adanya bahwa ideologi ormas hanya satu yaitu ideologi Pancasila, bukan agamais, budayais, atau sebagainya,” ujar Abdulah Maulana Maki.

Abdulah Maulana Maki juga menambahkan bahwa RUU Ormas bukanlah sebuah bentuk larangan pemerintah tentang kebebasan berorganisasi dan berpendapat. Serta RUU Ormas bukan juga sebuah bentuk dari rasa takut pemerintah akan gerakan – gerakan ormas.

“ Banyak organisasi yang menyalahgunakan kebebasannya dalam berorganisasi, saya tidak berhak menyebutkan organisasi yang mana tidak sependapat atau tidak sejalan dengan pemerintah pusat, jika dibilang sebuah larangan itu tidak betul, bebas aja asal sejalan dengan ideologi bangsa kita yaitu Pancasila,” ujar Abdulah Maulana Maki.

“ Bukan ketakutan tapi mengantisipasi. Karena banyaknya isu yang beredar bahwa PKI akan bangkit melalui anak cucunya, maka dari itu dibutuhkan ormas yang berazaskan Pancasila. Agar semua penganut agama dapat melaksanakan ibadahnya dengan aman dan lancar karena dengan berazaskan Pancasila kita semua saling menghargai satu sama lain,” lanjutnya Abdulah Maulana Maki.

Bagi Abdulah Maulana Maki, RUU Ormas juga jawaban untuk memperkuat toleransi antar umat beragama yang memang belakangan ini memanas keadaannya. Selanjutnya baginya RUU Ormas jelas bukanlah sebuah langkah awal dari bentuk pemerintahan yang otoriter.

“ Menurut saya sudah benar apa yang dilakukan pemerintah kita saat ini. Karena banyak berkembangnya organisasi radikal yang ingin memecah belah bangsa dan umat islam itu sendiri dengan mengatas namakan umat islam, tapi kenyataannya ada pihak ketiga yang mendalangi semua itu,” kata Abdulah Maulana Maki.

“ Bukan karena indonesia yang penduduknya mayoritas muslim. Sehingga kita tidak memberikan toleransi dengan umat beragama yg lainnya, itu sama saja bukan bangsa indonesia yang berideologikan Pancasila, kalo bisa dibilang dia adalah komunis yg tidak percaya adanya Tuhan,” ujar Abdulah Maulana Maki.

Abdulah Maulana Maki juga menambahkan, bahwa RUU Ormas bukanlah bentuk dari cara pemerintah mempersempit ruang gerak kaum mayoritas yang memang sedang gencar – gencarnya menuntut pemerintahan sekarang.

“ Kalo untuk mempersempit ruang gerak umat islam menurut saya bukan, tapi mempersempit ruang gerak provokator atau orang - orang yg tidak bertanggung jawab. Jika umat islam dipojokan dengan semua tuduhan yang telah dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan umat islam,” kata Abdulah Maulana Maki.

Tak hanya Abdulah Maulana Maki selaku (Wakil sekretaris lembaga pendidikan MPC Pemuda Pancasila Kota Depok). Budi Andika pun selaku (Sekertaris umum SAPMA Pemuda Pancasila Kota Depok) pun ikut menuangkan pendapatnya tentang RUU Ormas.

“ Menurut saya perlu atau tidaknya RUU Ormas. Bisa kita lihat dari kepentingannya. Bagi saya pribadi RUU Ormas memang diperlukan karena dilihat dari gunanya yaitu untuk stabillisasi keadaan yang terjadi pada saat ini,” ujar Budi Andika.

Tak hanya itu Budi Andika juga berpendapat bahwa RUU Ormas adalah langkah tepat untuk memerangi oknum – oknum nakal yang bersifat radikal.

“ Tidak sampai disitu RUU Ormas diperlukan, karena memang saat ini banyak sekali ormas – ormas yang bersifat radikal guna mementingkan golongannya sendiri. Jadi RUU Ormas sangat diperlukan,” Kata Budi Andika.

Namun berbeda dengan Abdulah Maulana Maki selaku (Wakil sekretaris lembaga pendidikan MPC Pemuda Pancasila Kota Depok), yang berpendapat RUU Ormas bukanlah sebuah bentuk larangan pemerintah tentang kebebasan berorganisasi dan berpendapat. Bagi (Sekertaris umum SAPMA Pemuda Pancasila Kota Depok), RUU Ormas bisa dikatakan sebagai pembatas masyarakat dengan pemerintah dalam menyampaikan aspirasi.

“ RUU Ormas bisa dikatakan layaknya pembatas antara masyarakat dengan pemerintah. Kerena RUU Ormas layaknya sebuah batasan masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya terhadap pemerintahan yang berjalan,” kata Budi Andika.

Sama seperti Abdulah Maulana Maki, Budi Andika juga berpendapat bahwa RUU Ormas sama sekali bukan bentuk dari rasa takut dari pemerintahan terhadap ormas – ormas yang ada. Baginya RUU Ormas justru sarana dalam memperkuat toleransi.

“ RUU Ormas bukan bentuk dari rasa takut pemerintah akan ormas. Karena tujuan RUU Ormas sendiri adalah untuk menstabilkan keadaan negara yang kini sedang panas oleh isu – isu yang dibuat guna menjadi pemicu perpecahan bangsa Indonesia,” ujar Budi Andika.

“ Menurut saya RUU Ormas juga sarana dalam memperkuat toleransi. Karena isi RUU Ormas berisi tentang pembubaran suatu ormas yang tidak berlandaskan Pancasila, yang sila ketiga Pancasila sendiri berisi tentang persatuan,” ujar Budi Andika.
Budi juga menambahkan bahwa hanya oknum – oknum nakal lah, yang berfikir bahwa RUU Ormas adalah bentuk awal dari pemerintahan yang otoriter.

“ Kembali saya ingatkan bahwa menurut saya, RUU Ormas dibentuk untuk stabilisasi keadaan persatuan negara. Jadi jika ada yang berfikir bahwa RUU Ormas adalah langkah awal dari pemerintahan yang otoriter itu hanya oknum – oknum saja yang berfikir seperti itu,” kata Budi Andika.

“  Memang dengan adanya RUU Ormas mungkin mempersempit ruang gerak oknum – oknum nakal kaum politik sendiri. Karena isu yang kaum politik mainkan adalah ras,agama, dan suku agar kaum minoritas tidak menjadi pemimpin,” ujar Budi Andika.

Tak sampai disini, Abdulah Maulana Maki (Wakil sekretaris lembaga pendidikan MPC Pemuda Pancasila Kota Depok) dan Budi Andhika (Sekertaris umum SAPMA Pemuda Pancasila Kota Depok) menuangkan saran dan kritiknya tentang RUU Ormas.

“ Saran saya adalah RUU Ormas harus dilaksanakan dengan sebenar – benarnya. Jika memang ada ormas yang tidak berideologikan pancasila harus dihapus. Karena sudah diatur dalam UU No 8 Bab VII Pasal 13, memberikan bantuan kepada pihak asing dan merugikan negara,” ujar Abdulah Maulana Maki

“ Saran saya pemerintah lebih menimbang kembali RUU Ormas dan jangan bertolak belakang dengan Pasal 28. Pemerintah juga jangan terlalu terfokus isu – isu yang menyudutkan kaum minoritas,” kata Budi Andika.


Foto bersama tiga anggota kader okp dan ormas, kiri (Ade Winata, S.Pd. - Mantan Sekjen MPC Pemuda Pancasila Kota Depok, Tengah Muhammad Ilham Aji Faturohman, S.Sos.,M.Si. - Sekjen OKP Satria Gerindra PC Kota Depok, Kanan Budi Andika - Sekjen SAPMA Pemuda Pancasila Kota Depok.)
Setiap keputusan memang mempunyai sisi baik maupun sisi buruk begitu pun RUU Ormas pro dan kontra menghiasi penerbitannya. Baik atau buruknya, semoga keputusan yang dipilih dapat dipertanggung jawabkan ke depannya  agar di kemudian hari tidak menjadi penyalahgunaan kekuasaan pihak tertentu.



 


10/08/2017


HARGA DIRI ZAFRAN


Berlari dan terus berlari itu lah hal yang dilakukan Zafran. Pengecut memang untuk ukuran seorang laki - laki yang lebih memilih berlari dan menghindar dari rasa takutnya dibanding menghadapinya. Namun tunggu memang terkadang dalam hidup ada rasa takut yang tidak bisa untuk dihadapi atau dihapus. Sebuah rasa trauma akan rasa sakit yang  datang ke dalam batin dan pikiran. Itu lah hal yang dirasakan Zafran, seorang remaja yang ceria dan tidak tega untuk melukai atau menyakiti perasaan orang lain, berubah menjadi Zafran yang cenderung diam, senyuman diwajahnya seakan hilang dan raut mukanya menggambarkan ketakutan akan suatu hal. Zafran sendiri adalah laki – laki biasa layaknya  yang lainnya. Zafran tumbuh dan berkembang di dalam keluarga sederhana yang menjunjung tinggi nilai tata karma atau kesopanan. Maka dari itu Zafran dibiasakan dari kecil untuk sopan dan santun kepada orang lain termasuk juga dibiasakan untuk tidak melukai perasaan orang lain. 

Lalu apa sebenarnya yang membuat Zafran berubah?, Layaknya seorang remaja pada umumnya, Zafran menjalani hubungan dengan seorang perempuan yang dia cinta yaitu Dinda. Zafran mengenal Dinda sejak dulu awal masuk sma melalui seorang temannya yang notabennya adalah teman Dinda ketika smp. Zafran dan Dinda pun berbeda sma, namun sejak saat itu lah Zafran memulai hubungannya dengan Dinda melalui pertemanan hingga akhirnya Zafran bisa mendapatkan hati Dinda. Zafran berfikir bahwa Dinda adalah seseorang yang bisa menjadi pena yang akan meggoreskan tinta di setiap lembar hidupnya. Hubungan yang dijalaninya berlangsung nyaman bagi zafran hingga 2 tahun berjalan. Sekaligus menambah keyakinan Zafran bahwa Dinda adalah perempuan yang tepat untuknya. 

Hingga suatu ketika Zafran akhirnya merasakan kepahitan dari hubungannya dengan Dinda. Tepat pada sore hari ketika jam pulang sekolah Zafran berjanji kepada sahabatnya yaitu Angga, bahwa akan mengahabiskan waktu bersamanya hingga malam tiba. Namun secara tidak terduga Dinda menghubungi Zafran untuk meminta tolong menjemputnya di rumah temannya, yang lokasinya memang tidak jauh dari sekolah Zafran. Zafran pun bimbang untuk memilih menjemput Dinda atau menempati janjinya dengan Angga. Tanpa pikir panjang Zafran langsung mengambil keputusan untuk menjemput Dinda sekaligus mengajak Angga untuk ikut menemaninnya. Sepuluh menit kemudian Zafran bersama dengan Angga sampai tepat di depan rumah teman Dinda. Zafran dan Angga pun dipersilahkan masuk dan disambut hangat  oleh Dinda dan 2 orang temannya. Semua berjalan seperti yang seharusnya, dimana Zafran berbincang dan berbagi canda tawa dengan Dinda, sedangkan Angga berbincang dengan 2 orang teman Dinda. 

Seketika keadaan menjadi hening dan  mengejutkan ketika Dinda tiba – tiba membentak Zafran di hadapan teman – temannya. Zafran hanya terdiam dan memandang Dinda yang membentaknya dengan raut muka penuh amarah. Angga berserta 2 orang teman Dinda hanya terdiam dan memperhatikan apa  yang terjadi. Tanpa berkata – kata Zafran langsung bangun dan keluar pergi di ikuti oleh Angga yang dengan buru – buru mengejar Zafran yang bersiap untuk pergi dengan menyalakan sepeda motornya. Akhirnya mereka berdua pun pergi tanpa pamit. Setelah itu mereka berdua berhenti di sebuah warung kopi, dimana Zafran langsung memesan kopi hitam dan rokok diiringi raut kekecewaan yang mendalam di wajahnya. Layaknnya seorang sahabat pada umumnya Angga langsung berkata “Udah jangan sedih, mending udahan aja. Secara nggak langsung Dinda udah jatuhin harga diri lu didepan temannya, harga diri Zafran.”. Sambil menghisap rokok Zafran hanya menjawab singkat “Gapapa Dinda mungkin lagi datang bulan, makannya jadi galak.”. Angga pun kembali merespon dengan nada yang tinggi “Jangan bodoh, segalak – galaknya perempuan nggak boleh kayak gitu apalagi didepan umum, harga diri Zafran harga diri Zafran?! Pake logika lu.”. Zafran hanya terdiam tanpa respon dan meminum kopi yang telah dia pesan. Keesokan harinya Dinda menyadari apa yang telah dilakukannya memang hal yang salah dan secara tidak langsung menjatuhkan harga diri Zafran, dan segera meminta maaf kepada Zafran, dengan tangan terbuka Zafran pun memaafkan apa yang telah Dinda lakukan. 

Waktu terus berjalan hingga akhirnya Zafran dan Dinda harus menjalani hubungan jarak jauh. Dimana Dinda harus melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di luar kota. Sedangkan Zafran melanjutkannya di kota yang sama dimana dia tinggal. Jarak membuat Zafran sadar dimana dia harus membagi waktunya terutama untuk Dinda. Begitu pun Dinda, yang juga sadar bahwa jarak membuat waktu bertemu Zafran hanya pada ketika dia pulang kembali ke rumah. Hingga saat yang ditunggu Zafran dan Dinda pun tiba yaitu libur panjang, Dinda segera memberi kabar kepada Zafran akan kepulangannya. Zafran pun sangat antusias dan siap menjemputnya kapan pun dan jam berapa pun Dinda tiba di stasiun. Setiap libur panjang lah Zafran dan Dinda bisa bertemu dan becengrama satu sama lain. 

Memasuki semester 2 kesibukan masing – masing pun mulai padat, ditambah dengan Zafran sangat aktif di kampus terutama jurusan. Sehingga membuat renggang komunikasi yang terjalin antara Zafran dan Dinda. Namun Zafran tetap konsisten memberi kabar di sela aktifitas jurusannya yang padat. Hingga suatu ketika Zafran kembali harus menetukan pilihan, dimana dia harus memilih mengikuti acara jurusannya atau menjemput sekaligus menemani Dinda. Akhirnya Zafran pun memilih untuk menemani Dinda, dan ketika itu juga Zafran mendapat komentar dan cemoohan dari banyak temannya karena lebih mementingkan Dinda dari pada jurusan terutama temannya. Pada saat itu Zafran hanya berfikir bahwa itu adalah pilihan tepat dan dia juga tidak terlalu memperudulikan berbagai komentar dari banyak temannya. 

Namun mulai seiring waktu berjalan Dinda mulai menekan Zafran untuk lebih meluangkan banyak waktu untuknya. Sampai pada akhirnya kekecewaan kembali dirasakan Zafran. Ketika Dinda kembali pulang dan seperti biasa Zafran selalu siap untuk menjemputnya. Namun sial bagi Zafran di perjalanan menjemput Dinda, Zafran terjebak dalam kemacetan yang panjang yang membuatnya telat datang. Sekaligus membuat Dinda menunggu 90 menit setelah sampai di stasiun. Sesampainya di stasiun Zafran langsung meminta maaf dan menjelaskan apa  yang membuatnya terlambat selama itu, namun sayang semua penjelasan Zafran tidak diterima oleh Dinda yang langsung marah ke hadapan Zafran. Untuk kedua kalinya Zafran hanya diam dan lebih memilih mengalah. Kali itu Zafran tidak terlalu memikirkan bahwa sesungguhnya dia sudah berusaha untuk menjemput Dinda walaupun telat dan tidak disengaja, Dinda juga kembali secara tidak langsung menjatuhkan harga diri Zafran kedua kalinya dengan tidak melihat usaha Zafran menjemputnya, yang Zafran lakukan saat itu hanya membujuk dan meminta maaf ke Dinda agar redah rasa amarah di dalam dirinya. 

Semua kembali normal dan Zafran pun sepeti biasa menghabiskan liburannya bersama Dinda. Namun keadaan kembali rumit ketika Zafran dan Dinda kembali ke rutinitasnya masing – masing. Dinda semakin menekan Zafran untuk selalu bisa kapan pun memberi kabar kepada Dinda. Hingga pada akhirnya Zafran dan Dinda sering bertengkar melalui pesan dan telfon. Karena memang waktu yang Zafran punya bukan hanya untuk Dinda. 

Pada saat itu juga Dinda berhasil menjatuhkan kembali harga diri Zafran untuk ketiga kalinya, sekaligus membuat Zafran benar – benar terpukul melalui kalimat yang Dinda lepaskan, dengan nada tinggi Dinda berkata “kamu nggak pernah bisa memperlakukan perempuan layaknya seorang laki – laki memperlakukan perempuannya.”. Seketika Zafran terdiam dan sedih mengingat usaha dan perjuangannya selama 5 tahun menjalani hubungan ini masih kurang dari cukup untuk Dinda, dan untuk terakhir kalinya Zafran kembali menelan kekecawaan yang sangat mendalam yang ada dibenaknya adalah menyudahi semuanya. 

Akhirnya Zafran dan Dinda pun tidak melakukan komunikasi selama 2 minggu lamannya. Hingga Dinda pun menyadari bahwa apa yang dilakukannya salah sekaligus secara langsung menjatuhkan harga diri Zafran dan meminta maaf kepada Zafran. Namun sayang kali ini Zafran hanya bisa memaafkan tanpa bisa menerima kembali Dinda layaknya kesalahan – kesalahannya dulu yang pernah Dinda lakukan. Pada saat itu juga Zafran berubah menjadi cenderung diam dan berkata secukupnya. Sesekali terlihat raut sedih di wajahnya ketika teringat apa yang dialaminya. Dia sadar mencintai seseorang terlalu dalam membuatnya lupa bahwa luka terbaik berasal dari seseorang yang terbaik dalam kehidupan, dan dia sadar bahwa ada 3 hal yang tidak akan bisa ditukar oleh apapun itu yaitu agama,keluarga dan yang paling utama adalah harga diri.

Alur kerja kegiatan jurnalistik sampai dengan proses pencetakan 

Sebelum melakukan peliputan serta melakukan pencarian berita kegiatan di Harian Pagi Radar Depok di awali dengan melakukan kegiatan:

1. Rapat perencanaan ( News planning ) rapat Perencanaan berita dalam tahap ini redaksi melakukan rapat proyeksi, yakni perencanaan tentang informasi yang akan di sajikan dalam rapat.inilah di tentukan jenis dan tema-tema tulisan/berita yang akan dibuat dan dimuat. Rapat ini bertujuan untuk menginventarisir berita serta isu-isu apa saja yang sedang hangat di bicarakan untuk dijadikan berita. Rapat ini di ikuti redaktur pelaksana kordinator liputan dan redaktur. Dalam rapat ini lah juga akan dibagi pembagian tugas kepada para wartawan untuk selanjutnya melakukan proses pencarian berita.

2. Pengumpulan bahan berita  (News hunting) setelah  rapat proyeksi dan pembagian tugas, para wartawan melakukan pengumpulan bahan berita berupa fakta dan data melalui peliputan penelusuran referensi atau pengumpulan data melalui leteratur dan wawancara. Setelah berita di dapat dari reporter di lapangan berita kemudian di teruskan dalam tahapan selanjutnya.

3. Pengetikan dan penulisan berita (News writing )pengetikan dan penulisan berita di laksanakan setelah mendapatkan laporan berita dari reporter di lapangan. khusus untuk di Harian Pagi Radar Depok bagi wartawan yang berada di lokasi yang jauh dapat mengirimkan berita dengan media internet melalui internet  e-mail file transfer protocol.

4. Penyuntingan Naskah (News editing)  setelah berita di terima oleh redaktur dari reporter di lapangan berita/naskah yang telah di tulis tadi harus di sunting dan di editing dari segi redaksional(bahasa) dan isi ( substansi ). Dalam tahap ini juga di lakukan perbaikan kalimat, kata, sistematika penulisan dan substansi naskah, termaksud dalam pembuatan judul yang menarik dan layak jual serta penyesuaian naskah dengan space atau kolom yang tersedia.

5. Proses produksi untuk di  lay out di Harian Pagi Radar Depok  sebelum melakukan proses produksi untuk selanjutnya melakukan proses pencetakan biasanya selalu melakukan rapat. Rapat ini di lakukan guna membahas masalah keredaksian dan usaha di antaranya penentuan berita headline utama dan halaman evaluasi hasil produksi  secara umum  dan penempatan tata letak iklan. Harian Pagi Radar Depok sering melakukan rapat perencanaan malam, namun sifat rapat ini sangat tentatif  melihat situasi dan kondisi apakah rapat ini perlu di lakukan atau tidak. Serta sifat rapat ini mengacu pada situasi yang sifatnya unpredictable moment (sesuatu kejadian yang sifatnya tidak terduga) misalnya ada kejadian alam, kebakaran dll. dalam hal seperti ini sangat mungkin melakukan rapat perencanaan malam guna menampilkan berita berita tersebut sebagai headline.

6. Tahapan pencetakan, setelah tahapan tahapan tersebut telah selesai di lakukan barulah hasil lay out tersebut dikirim kebagian suvervisi (divisi percetakan) kemudian tahapan selanjutnya yaitu proses pencetakan yang meliputi pembuatan film dan flat dan terakhir cetakan kertas berbentuk Koran yang telah jadi.


Struktur Organisasi surat kabar Harian Pagi Radar Depok

Struktur organisasi surat kabar Harian Pagi Radar Depok merupakan tuntutan tanggung jawab yang dibebani oleh masing-masing jabatan, dimana dalam pelaksanaannya di lapangan struktur organisasi ini sangat berguna untuk membantu aktifitas organisasi. Adapun struktur organisasi pada surat kabar Harian Pagi Radar Depok dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2.1.  Struktur  Organisasi surat kabar Harian Pagi Radar Depok

Kegiatan organisasi surat kabar Harian Pagi Radar Depok secara keseluruhan di bawahi langsung oleh pimpinan direksi yang di bawahnya terdapat general manajer yang bertugas langsung seluruh karyawan  perusahaan tersebut. General manajer dalam menjalankan tugasnya di bawah oleh pemimpin redaksi, dimana tugas redaksi ini yaitu memonitoring serta mengawasi seluruh aktifitas redaktur pelaksana, redaktur, serta reporter.

Posisi pemimpin redaksi sejajar atau dibantu dengan sekretaris dan staf keuangan.  Bidang iklan dan bidang pemasaran berada pada posisi sejajar dengan redaktur bertugas untuk menagani seluruh aktifitas pemasaran pada perusahan ini. Repoter dalam tugasnya dibantu dengan staf editor dan lay out dalam membuat berita, dimana tanggung jawab editor yaitu membenahi atau menangani editing dari berita yang sudah dibuat oleh reporter, sedangkan staf lay out bertugas dalam mendesain tampilan berita yang sudah ada untuk diterbitkan pada penerbit.

Susunan Redaksi Surat Kabar Harian Pagi Radar Depok



10/07/2017


Cara memisahkan objek foto dengan latar di Adobe Illustator


Memisahkan objek foto dengan latar foto menggunakan Adobe Illustator sangatlah mudah dan cepat. Jika kita ingin membuat poster, infografik, layout dan dll di Adobe Illustator. Namun terhambat karena foto yang akan kita gunakan masih berbentuk JPEG bukan Vector sehingga kita bingung harus bagaimana mengatasinya, berikut adalah cara bagaimana memisahkan objek foto dengan latarnya.

Berikut tahap - tahapnya..

Pertama adalah marilah kita bukalah Adobe Illustator.


Kedua adalah buka atau drag foto ke Adobe Illustator, yang ingin kita pisahkan objek dengan latarnya.





















Jika menggunakan cara mendrag foto ke Adobe Illustator.











 Ketiga setelah foto yang ingin kita ambil objeknya sudah terbuka di Adobe Illustator. Selanjutnya adalah marilah kita pilih tool pentool yang ada pada toolbar Adobe Illustator.








Keempat Selanjutnya marilah kita seleksi objek foto yang ingin kita ambil menggunakan pentool secara pelan –pelan dan rapih.












Kelima lalu setelah objek foto yang kita inginkan sudah kita seleksi secara rapih, selanjutnya klik (ctrl dan A) secara bersamaan atau bisa juga kita mengklik kiri hasil seleksi objek dan foto secara bersamaan.











Selanjutnya kita hanya tinggal klik kanan, dan memilih Make Clipping Mask.

Setelah mengklik Make Clipping Mask sudah dipastikan, kita sudah bisa memisahkan objek foto yang kita inginkan dengan latarnya.

Selesai dan selamat mencoba kawan! Semangat!
Berikut adalah salah satu poster amatiran yang saya buat dari hasil seleksi diatas.







10/05/2017

Eksistensi Perpustakaan
di Era Reformasi: Pendapat Kritis
Taufik Asmiyanto


Tema yang diusung dalam Rapat Kerja Pusat (Rakerpus) XIII dan Seminar Ilmiah Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) yang berlangsung di Pekanbaru, Riau, 31 Mei – 3 Juni 2005 yakni “Pustakawan Sebagai Pemberdaya Pengetahuan: Menuju Bangsa yang Belajar”, terlihat sangat “bombastis”. Tema yang kemudian diturunkan dalam beberapa topik ini tampaknya tidak memperlihatkan benang merah pemikiran yang mengacu pada fokus perhatian dalam Rakerpus kali ini. Penulis menilai tema yang diusung tampaknya masih sekedar wacana yang “liar”, bila secara jujur kita melihat kondisi perpustakaan maupun pustakawannya sendiri, terlebih mengamati peran yang telah dilakukan perpustakaan sejauh ini. Wacana ini kiranya perlu diturunkan dalam berbagai langkah strategis dan konkrit yang seharusnya terlihat pada turunan topik seminar. Karena sering kali kita sangat senang menelurkan suatu isu, dengan mengadopsi isu-isu dari luar yang sudah barang tentu sangat berbeda kondisinya dan agak sulit diterapkan dalam jangka pendek.

Berangkat dari kegundahan di atas, penulis memandang perlu menyampaikan pendapat sejujur-jujurnya atas pengamatan kasat mata tanpa didukung bukti-bukti ilmiah, atas fenomena yang penulis temui khususnya yang menyangkut keberadaan perpustakaan di era reformasi. Pemikiran yang berbeda ini diharapkan tidak dicap sebagai upaya pembunuhan karakter (character assination) institusi atau perorangan, namun dilihat sebagai bentuk kebebasan mengutarakan pendapat dan kepedulian masyarakat terhadap
* Makalah pada Rakerpus dan Seminar Ilmiah IPI XIII, Pekanbaru, Riau, 31 Mei – 3 Juni 2005.
** Pengajar Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
keberadaan perpustakaan. Pendapat-pendapat senada diharapkan juga bermunculan, sehingga pada saat Rakerpus IPI dibahas masalah-masalah yang lebih “membumi” dan memberikan solusi atas pekerjaan rumah yang belum terselesaikan tanpa melupakan pemikiran strategis ke depan yang perlu dilakukan.

Pendahuluan
Selama kepemimpinan rezim Orde Baru, keberadaan perpustakaan dijadikan sebagai aparatus ideologi negara, yang berdampingan dengan aparatus represif negara yang sengaja diciptakan dengan tujuan mengekalkan pemerintahan yang otoriter dan terpusat. Perpustakaan menjadi “tangan pencekram” kebebasan memperoleh informasi. Perpustakaan dijadikan alat rezim yang ditugaskan “mengkebiri” pengetahuan masyarakat melalui penyensoran buku-buku yang dianggap berbahaya bagi stabilitas pemerintahannya.

Sebagai aparatus ideologi negara, perpustakaan bersama-sama dengan institusi penyampai informasi lainnya, selain melakukan pembendungan arus informasi “liar” yang dapat menimbulkan instabilitas, juga memainkan peran yang signifikan dalam menyebarkan ideologi penguasa.

Perpustakaan juga berkembang menjadi institusi pemerintah dengan kultur birokratis khas Orde Baru yang seringkali tidak bersikap melayani masyarakat, tetapi minta dilayani. Sehingga perpustakaan mengambil peran yang pasif dalam melayani kebutuhan informasi masyarakatnya. Perpustakaan disibukkan dengan urusan internal, dan tak memperdulikan hubungan eksternal. Perpustakaan sibuk menimbun koleksi sebanyak-banyaknya, lupa akan masyarakat pemakainya.

Memasuki era reformasi, diskursus perpustakaan di Indonesia seakan tenggelam oleh gegap-gempitanya pemberitaan di media, baik cetak maupun elektronik, seputar isu politik, sosial, ekonomi, hukum, dsb. Seluruh perhatian publik tertuju pada upaya perbaikan tatanan kehidupan bangsa yang porak-poranda tertimpa “badai” krisis. “Genderang perang” yang ditabuh berbagai kalangan menyangkut kebebasan memperoleh informasi, tak juga menyadarkan perpustakaan untuk berdiri di garis depan mendukung upaya itu. Perpustakaan tidak mampu mengambil momen tersebut sebagai upaya revitalisasi peran.

Kondisi perpustakaan di Indonesia pasca rezim Orde Baru ternyata belum juga memperlihatkan ke arah yang lebih baik. Walaupun, perpustakaan tidak lagi dijadikan ideological state apparatus pemerintahan yang berkuasa. Namun, perpustakaan tetap tidak mampu menempatkan diri sebagai public sphere. Perpustakaan tidak mampu memenuhi kebutuhan publik dan menjamin akses publik untuk berperanserta dalam diskursus yang menyangkut kepentingan bersama. Perpustakaan juga tidak mampu berperan aktif dalam turut mendukung terciptanya demokratisasi dan terbentuknya masyarakat madani.

Ketidakmampuan perpustakaan dalam memainkan perannya ini meninggalkan sejumlah pertanyaan yang seharusnya dicarikan jawaban yang memuaskan. Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut di atas yang menurut penilaian subyektifitas penulis yang akan mampu mendorong perpustakaan menemukan jati dirinya.

Masalah Minat Baca
Persoalan minat baca masyarakat yang rendah sudah sejak lama menjadi pusat perhatian berbagai kalangan. Beragam perhatian dengan beraneka ragam upaya pencarian solusi masalah itu telah ditempuh. Namun, langkah penyelesaian masalah seakan tak berujung. Tampaknya, tidak jalannya koordinasi berbagai pihak yang terkait dengan upaya pencarian solusi menjadi penyebab tidak berhasilnya usaha tersebut. Belum lagi kebiasaan yang berlaku di lingkungan sosial kita dengan politik kambing hitam membuat sempurna ketidakberhasilan itu. Kalau kita mengamati berbagai tulisan yang mengupas tentang mengapa minat baca bangsa ini rendah, sering kali kita menemukan pengalihan masalah dengan jalan menuding si A atau si B sebagai kambing hitamnya. Selama ini ketika kita dilontarkan pertanyaan itu, tanpa pikir panjang dan seolah itu merupakan kebenaran absolut, kita lalu mendakwa biang keroknya adalah harga buku yang membingungkan (baca: mahal), televisi yang melalaikan, budaya lisan yang menjerumuskan, orang tua yang tak memperhatikan, lingkungan yang mengabaikan, sekolah yang tak membiasakan, perpustakaan yang tak berperan dan seabrek jawaban lain yang berusaha dicarikan dalil pembenarannya.

Kemudian, terbetik pertanyaan yang menggelikan, kenapa justru perpustakaan yang dijadikan pesakitan dalam kasus minat baca? Bukankah perpustakaan justru memiliki peran signifikan dalam mencerahkan bangsa? Bila jawaban atas pertanyaan itu kita mintakan kepada para pengelola perpustakaan, biasanya yang kita dapatkan hanyalah jawaban-jawaban klise atau bahkan pembelaan mati-matian bukan upaya perenungan panjang yang dilakukan dan langkah strategis yang dijalankan.

Perpustakaan yang seharusnya menjadi ujung tombak dan sekaligus berperan lebih besar dalam upaya membangkitkan minat baca anak negeri, dengan membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat akan bahan bacaan, ditengah kegundahan masyarakat atas tingginya nilai ekonomi buku dan keterpurukan daya beli, justru hanya mampu menjadi penonton, bukan sebagai pemain atau si pemecah masalah.

Perpustakaan sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang memikul amanah besar dalam memberantas kebodohan, melakukan pencerahan, sekaligus sebagai agen perubahan, seperti tak kuasa menunaikan amanah, dan hanya mampu bertindak sebagai “museum” buku. Perpustakaan lebih banyak berkutat pada pembenahan fisik ke dalam, menjaga koleksi agar tetap utuh, dan seakan melupakan apa yang sedang terjadi di luar.

Pendapat sebagian masyarakat yang melihat efektifitas upaya membangkitkan minat baca seharusnya di mulai sejak dini artinya saat masih usia anak-anak. Sementara itu, menurut para pakar pendidikan, cara yang paling ampuh untuk menumbuhkan minat baca pada anak-anak adalah dengan merangsang rasa keingintahuan anak. Pendapat ini ternyata bukan isapan jempol belaka, belum lama kita melihat fenomena larisnya buku JK Rowling di pasaran. Rasa ingin tahu yang tinggi membakar motivasi masyarakat untuk segera mencari alat pemuas keingintahuan itu. Jadi, dapat dikatakan bahwa kebiasaan membaca berkorelasi positif dengan keingintahuan.

Melihat hal ini perpustakaan seharusnya berbenah diri, merenungkan kembali tugas dan perannya, dan kemudian menterjemahkannya ke dalam upaya membangkitkan kesadaran masyarakat akan manfaat perpustakaan dalam kehidupan sosial dan menumbuhkan semangat keingintahuan. Banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan perpustakaan dalam kerangka itu. Perpustakaan harus mampu membaca dan memanfaatkan setiap momentum yang ada. Momentum yang mampu menyulap citra negatif perpustakaan menjadi positif.

Akses Ruang Publik
Pada era Orde Baru, perpustakaan dijadikan ideological state apparatus. Perpustakaan, saat itu, menjadi salah satu corong pemerintahan yang berkuasa untuk menebarkan pesan-pesan politik yang menjadi ideologi penguasa. Perpustakaan juga dijadikan instrumen penguasa yang ditugaskan menangkal pemikiran-pemikiran yang kontra terhadap pemerintahan yang berkuasa. Pada saat itu, perpustakaan tidak bisa diharapkan sebagai institusi yang membuka peluang terciptanya ruang publik (public sphere). Sebuah ruang yang “netral” di mana publik memiliki akses yang sama dan berpartisipasi dalam wacana publik dalam kedudukan yang sejajar, bebas dari dominasi negara ataupun pasar. Kepemimpinan otoriter yang diterapkan Orde Baru, yang mengarah kepada upaya pewadahtunggalan dan homogenisasi, membuat berbagai ruang publik dalam posisi subordinat di hadapan penguasa negara. Perpustakaan sebagai salah satu pilar penegakan kawasan publik juga mengalami hal yang serupa.

Memasuki era pasca Orde Baru, berbagai pilar public sphere yang dulu tersubordinasi oleh penguasa, mulai menampakkan jati dirinya. Pers, misalnya, sudah lebih berani bersikap kritis terhadap penguasa dan berani menyuarakan aspirasi masyarakat yang marjinal. Namun, apa yang kita temui pada institusi perpustakaan ternyata tidak sama. Kondisi perpustakaan di Indonesia pasca rezim Orde Baru ternyata belum juga memperlihatkan ke arah yang lebih baik. Walaupun, perpustakaan tidak lagi dijadikan ideological state apparatus pemerintahan yang berkuasa. Namun, perpustakaan tetap tidak mampu menempatkan diri sebagai public sphere. Perpustakaan tidak mampu memenuhi kebutuhan publik dan menjamin akses publik untuk berperanserta dalam diskursus yang menyangkut kepentingan bersama. Perpustakaan juga tidak mampu berperan aktif dalam turut mendukung terciptanya demokratisasi dan terbentuknya masyarakat madani.
Melihat konsep ruang publik di atas, perpustakaan seharusnya berperan sebagai institusi sosial yang bertanggung jawab terhadap penyediaan akses informasi atas dasar kesamaan dan kesejajaran. Perpustakaan seharusnya tidak bertindak diskriminatif dan mengabaikan masyarakat marjinal yang tidak memiliki kemampuan terhadap akses tersebut. Masyarakat marjinal yang sebagian besar merupakan masyarakat dengan status sosial-ekonomi bawah dan tingkat pendidikan rendah sering tidak menjadi perhatian ketika perpustakaan menyusun kebijakan.

Selama kepemimpinan rezim Orde Baru, masyarakat marjinal sering tidak mendapat tempat hampir di seluruh sektor. Demikian juga halnya dengan perpustakaan. Stigma yang tertanam pada institusi perpustakaan saat itu, seakan membenarkan keberpihakan tersebut. Kesan perpustakaan sebagai penyedia buku-buku serius, tempat orang-orang terdidik berkumpul, ruang menimba pengetahuan, dan serentetan kesan yang berat lainnya memperlihatkan bahwa perpustakaan diperuntukkan pada golongan orang tertentu. Stigma yang terpatri puluhan tahun itu, di satu sisi sejalan dengan kesakralan peran perpustakaan sebagai lembaga “pencerahan”. Namun, di sisi lain, cenderung membuat perpustakaan kehilangan antusias pasarnya.

Citra perpustakaan yang demikian, seakan diwariskan secara turun temurun dan diperkuat labelnya oleh para pengelola perpustakaan itu sendiri. Larangan berbincang, bersenda-gurau, bersantai, dan aktifitas ringan lainnya kerap kita temui di lorong-lorong perpustakaan. Tempelan larangan-larangan itu bahkan menjadi bagian hiasan ruang perpustakaan. Hampir di setiap perpustakaan, kita jumpai tempelan serupa.
Padahal seingat penulis, perpustakaan juga mengemban tugas untuk menjadikan ruangannya sebagai ajang bermain, tempat bercerita (story telling), wahana kumpul keluarga dan serangkaian tugas lain yang menjungkirbalikkan sakralitas perpustakaan itu. Tentu saja, tidak semua perpustakaan dapat memainkan peran yang demikian itu melihat tugas dan fungsinya.

Gerakan Masyarakat
Kinerja perpustakaan yang belum optimal, membuat gundah masyarakat, namun sekaligus menimbulkan kesadaran masyarakat untuk mulai berpikir dan berbuat agar masalah tak berkepanjangan dan mengorbankan mereka sendiri. Saat ini, kita sudah dapat melihat beberapa aktivitas perbukuan independen yang dilakukan atas dasar kepedulian masyarakat. Salah satunya yang menonjol adalah Komunitas Pasar Buku Indonesia (KPBI). Lewat Program Kampanye Indonesia Membaca, KPBI melakukan serangkaian terobosan yang kreatif yang sebelumnya tidak pernah dicanangkan perpustakaan dengan cara membangun perpustakaan komunitas, menelorkan klub baca tulis SMA, dan membuka toko buku independen. Belum lama berselang kita juga mendengar, kepedulian masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Relawan 1001 Buku yang melakukan kegiatan mengumpulkan buku-buku bekas untuk didistribusikan ke perpustakaan-perpustakaan anak. Belum lagi, kepedulian yang ditunjukkan beberapa perusahaan raksasa di Indonesia yang mensponsori program-program pengembangan taman bacaan, pembangunan perpustakaan 7
komunitas, bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Baru-baru ini, perusahaan rokok domestik yang sebagian besar sahamnya diakuisisi perusahan rokok luar, Sampoerna, melalui Program Bimbingan Anak (PBA) Sampoerna, mengadakan asistensi perpustakaan sekolah bekerjasama dengan Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, FIB-UI.

Lemahnya Kerjasama & Kreatifitas
Salah satu kelemahan nyata yang tanpa didisadari mengakar pada perpustakaan adalah ketidakpeduliannya dengan dunia luar. Barangkali, hal ini merupakan warisan kultur birokratis khas Orde Baru yang seringkali tidak bersikap melayani masyarakat, tetapi minta dilayani. Perpustakaan disibukkan dengan urusan internal, dan tak memperdulikan hubungan eksternal. Perpustakaan sering tidak mampu membina hubungan sosial. Ada semacam bottleneck komunikasi yang terjalin antara perpustakaan dan masyarakat. Perpustakaan lebih sering berbicara ke dalam dan mengabaikan jalinan komunikasi dengan pihak luar.
Hal ini yang tampaknya menjadi penyebab utama seringnya kegagalan pelaksanaan program perpustakaan. Program tidak didukung bahkan tidak dipedulikan masyarakat. Perpustakaan belum mampu membangun kepercayaan (trust) masyarakat akan tugas dan perannya.

Belum tingginya kesadaran perpustakaan membina hubungan dengan segenap elemen masyarakat, barangkali yang juga menjadi penyebab buruknya citra perpustakaan. Hubungan yang dibangun tentu saja harus berdasar pada asas win-win solution. Dalam menjalin hubungan, perpustakaan tidak hanya ditempatkan sebagai obyek pembangunan citra pihak lain. Perpustakaan harus juga mempunyai harga tawar dalam jalinan kerjasama itu.

Belum munculnya kesadaran akan pentingnya fungsi public relations (humas) dalam menjembatani hubungan perpustakaan dengan masyarakat dalam upaya pembangunan citra dan penjalinan kerjasama, tampaknya merupakan akar permasalahan ketidakpedulian ini. Humas yang nantinya diharapkan akan mampu membongkar sumbatan komunikasi yang terjadi dan mampu menciptakaan dan memelihara citra positif perpustakaan dihadapan masyarakat. Sehingga perpustakaan secara perlahan akan mampu menjalin kerjasama dengan masyarakat dan didorong untuk bahu membahu ikut terlibat menyukseskan program perpustakaan. Hal ini sudah barang tentu membutuhkan keterbukaan dan kearifan perpustakaan bahwa mereka bukanlah satu-satunya pihak yang paling memahami urusan kepustakawanan. Sinergi ini mudah-mudahkan akan membangun citra positif perpustakaan dan sekaligus membangun hubungan yang saling menguntungkan.

Berbicara soal sumber daya manusia, ada cap negatif yang selama ini menempel pada diri perpustakaan dan sangat merugikan. Banyak orang tahu dan seakan sudah menjadi rahasia umum, bahwa perpustakaan sebagai tempat pengasingan orang-orang “bermasalah”. Stempel ini jika disikapi secara positif menjadi semacam api pengobar ghirah untuk membuktikan ketidakbenaran asumsi itu. Namun, sebaliknya bila ditanggapi secara negatif malah justru memperkuat stigma yang menempel. Belum lagi, stigma negatif yang selama ini dilekatkan masyarakat pada insan pengelola perpustakaan makin memperkuat sangkaan tersebut di atas. Sering kita mendengar keluhan masyarakat pengguna perpustakaan atas ketidakramahan, ketidakpedulian, keangkuhan pustakawan akan layanan yang dilakukan. Pustakawan dalam rutinitas kesehariaannya seakan lupa bahwa mereka adalah pelayan jasa. Sebagaimana bisnis jasa yang lain, anggapan bahwa pelanggan bak seorang raja, seharusnya juga berlaku. Walaupun bisnis yang dilakukan perpustakaan tidak secara langsung menampakkan imbalan materi (non-profit).

Kegundahan masyarakat akan kerja yang dilakukan pustakawan berakumulasi menjadi kenyataan pahit yang didera perpustakaan. Sehingga ada semacam anggapan bahwa ketika masyarakat mendengar kata perpustakaan langsung apriori. Namun, bila sudah diterjemahkan ke dalam istilah lain, pusat informasi, taman bacaan, kafe buku, dan sebagainya, antusiasme masyarakat berbeda seratus delapan puluh derajat.

Satu kelemahan yang tampak pada diri pustakawan adalah kurangnya budaya kreativitas, inovasi, dan penghargaan terhadap karsa. Perpustakaan merasa segala sesuatu selesai ketika semua pekerjaan rutin (library routines) telah dilakukan. Jarang kita temui terobosan-terobosan program perpustakaan seperti yang telah dilakukan oleh KPBI.

Penutup
Sekali lagi, tulisan ini merupakan pendapat subyektif penulis melalui pengamatan kasat mata tanpa diperkuat bukti-bukti ilmiah. Jadi, isi dalam tulisan ini boleh dipertentangkan. Masalah-masalah yang dipaparkan dalam tulisan ini juga belum mewakili sekian banyak masalah menyangkut eksistensi perpustakaan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Jadi yang perlu dilakukan adalah upaya penguakan substansi persoalan-persoalan perpustakaan terkini melalui kegiatan penelitian, misalnya dan kemudian merancang langkah-langkah strategis, cerdas, dan inovatif dalam menuntaskan secara bertahap persoalan-persoalan seputar perpustakaan. Perlu dipahami bersama bahwa perpustakaan bukan institusi yang berada pada ruang hampa. Perpustakaan merupakan lembaga sosial yang bersinggungan dengan berbagai persoalan baik mikro maupun makro berkaitan dengan sosial, politik, budaya, ekonomi, dsb. yang secara langsung ataupun tidak berpengaruh pada eksistensi perpustakaan. Akhir kata, selamat menyuarakan aspirasi masyarakat dalam rapat kerja dan membahas persoalan bangsa dalam seminar.


REFERENSI
Asmiyanto, Taufik. “Deregulasi Industri Penyiaran dan Penguatan Civil-Society: Pemikiran Teoritis Ekonomi-Politik Media terhadap UU Penyiaran”. Makalah yang ditulis sebagai tugas akhir mata kuliah Ekonomi Politik Media, Salemba, 5 Juni 2003.
Hidayat, Dedy N. Dalam buku Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS, 2001.
“Konstruksi Sosial Industri Penyiaran: Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di Sektor Penyiaran.” Makalah yang disampaikan pada acara diskusi UU Penyiaran, Salemba, 5 Maret 2003.
“Minat Baca vs Bahan Bacaan”. Kompas, Senin, 4 Nopember 2002.
“Perpustakaan, Buku, dan Minat Baca”. Republika, Jum’at, 24 Januari 2003.
“Public Relations”. Diambil dari http://cdc.eng.ui.ac.id/article/articleprint/2254/-1/4/ pada tanggal 18 Februari 2005.
Yurnalis, Widia. “Buku Harry Potter dan Realitas Minat Baca”. Pikiran Rakyat, Sabtu, 12 Juni 2004.